Friday, October 21, 2016

Ness, Patrick. A MONSTER CALLS. Insightful Fiction From A Boy's Story.

Here is what will happen, Conor O'Malley, the monster continued, I will come to you again on further nights. ... And I will tell you three stories. Three tales from when I walked before.
...
Stories are the wildest things of all, the monsters rumbled. Stories chase and bite and hunt.
...

And when I have finished my three stories, ..., you will tell me the fourth.
Tahun terbit: 2011
Penerbit: Walker Books
Edisi: E-book (.epub), bahasa Inggris
"Genre": Children, Contemplative, Family, Terminal Illness

Sebenarnya sudah lama saya berkeinginan membaca buku ini, namun baru-baru ini saja saya bisa menamatkan membacanya. Premis tentang kemungkinan metaforis dari sosok monster yang diceritakan dalam buku ini, lalu juga ulasan teman-teman pembaca (terutama Ireisha alias Ru - apa kabar ya Ru?) kalau buku ini ceritanya bagus, kemudian pengalaman membaca karya Patrick Ness yang tidak mengecewakan dari The Knife of Never Letting Go (dari rekomendasi Ru juga) - ketiga hal itu akhirnya bisa dibilang jaminan bahwa saya akan menyukai buku ini, dan memang benar. Saya suka banget sama cerita buku ini :'''

Menampilkan sosok utama seorang 'bocah' laki-laki, Conor O'Maley (seperti halnya di buku The Knife...), buku ini menceritakan bagaimana Conor menghadapi keadaan sakit parah (terminal illness) yang dialami ibunya. Sosok monster dalam buku ini lah yang seakan menjadi "jembatan" menuju tema fiksi yang melingkupi situasi reality based dari pengalaman seorang anak dengan ibu yang mengalami terminal illness. Monster yang mengambil wujud dari pohon yew di halaman belakang rumah Conor ini datang setiap pukul 12:07 malam, bersikeras menceritakan tiga kisah pada Conor, bersikeras bahwa Conor akan menceritakan kisah keempat. Sementara, mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan daripada sang monster masih menghantui Conor.
Karena penjelasan akan lebih mudah dicerna kalau ada visualnya, berikut saya sematkan book-trailer dari A Monster Calls. Silakan disimak.



Tanpa bermaksud menyombongkan latar belakang pendidikan psikologi saya (#...), menurut saya Patrick Ness mengangkat tema fiksi yang sarat dengan unsur psikologis dalam cerita A Monster Calls ini. Dari bagaimana sosok tokoh utamanya adalah seorang anak usia tiga belas, situasi yang sedang dihadapinya, ... it all already speak so much of what will this book are going to tell.

Saya pribadi cukup merasa tidak menyangka bahwa betapa banyak yang bisa terjadi dan dialami seorang anak dengan situasi seperti Conor, padahal notabene ia baru tiga belas tahun... dan itu menimbulkan perasaan prihatin yang nggak bisa disangkal, apalagi dengan cara penyampaian Patrick Ness dalam penulisannya. Patrick Ness mampu mendeskripsikan suasana-suasana dan kesan-kesan dari dunia seorang bocah dengan situasi seperti Conor secara mudah diterima oleh pembacanya; kata-katanya nggak rumit, nggak berlepotan diksi, tapi tetap mengena. Padahal situasi Conor ini kan bisa dibilang jarang dialami anak seusianya, dan lagi menjadi bacaan yang bisa dibaca anak-anak. I think it's one of the many reasons why this book are SO good to read, and us 'the grown up' are left wrenched by how a boy's story can make us feel #...

He could think of a couple of important things that had happened. Nothing he wanted to write about, though. His father leaving. The cat wandering off one day and never coming back. The afternoon when his mother said they needed to have a little talk.

Ada gagasan bahwa membaca cerita fiksi dapat membuat kita bisa belajar lebih empati pada orang lain. Bagi saya, A Monster Calls merupakan salah satu cerita fiksi yang kurang lebih seperti itu, membuat kita mendapat gambaran seperti apa rasanya berada di stuasi orang lain, khususnya situasi Conor. AND HE IS JUST A BOY #baper. Sekali lagi dikatakan kalau saya cukup dibuat tertegun membaca bagaimana suasana sekolah menjadi "berubah" untuk Conor, tidak hanya karena bullying yang dialaminya, tapi juga karena bagaimana teman-teman Conor semata-mata bersikap ke Conor - bahkan bagaimana guru-guru memperlakukannya karena tahu bahwa ibu Conor sakit parah. Bagaimana bahkan "orang dewasa" macam guru-guru di sekolah ternyata pun bisa dibilang "nggak bisa memerlakukan Conor dengan tepat" karena mereka berpikir bahwa Conor punya "situasi khusus", lalu karena itu pun sedikit demi sedikit Conor jadi mengalami semacam "isolasi" karena "situasi khususnya". Rasanya seperti mendapat insight bahwa kita nggak pernah bisa menganggap bahwa kita tahu cara memperlakukan orang lain dengan sepantasnya, apalagi kalau orang lain itu mengalami situasi tertentu... bahwa sikap yang kita anggap "seharusnya" kepada mereka ternyata bisa saja berdampak berbeda buat mereka :'(, hiks.

"This is a talk, isn't it?" Conor said, as they sat down. "Everybody always wants to have a talk lately."

...I MEAN JUST BY THAT TWO LINES OF HIM, betapa banyak yang mungkin kita luput untuk pikirkan mengenai bagaimana rasanya situasi bagi seorang seperti Conor, dan kita mengira bahwa kita bisa begitu saja mengajak mereka bicara. HIKS. Interaksi Conor dengan ibunya pun menjadi suatu aspek yang terasa bittersweet saat dibaca, karena saya merasa bahwa sepertinya ibu Conor dapat berkomunikasi dengan Conor dengan cara yang paling tidak keliru dan "bisa diterima" Conor. Terlepas dari fakta jelas bahwa antara ibu dan anak tentunya akan ada koneksi tersendiri, saya selalu suka membaca setiap kali ibu Conor menjelaskan hal-hal pada Conor dengan cara dan bahasa yang "sesuai" untuk ngomong ke anak tiga belas tahun,  how it all makes me feel even more wrenched.

"I think, deep in your heart, you've always known," his mother said. "Haven't you?"
Conor didn't answer her.
"It's okay that you're angry, sweetheart," she said. "It really, really is." She gave a little laugh. "I'm pretty angry, too, to tell you the truth. But I want you to know this, Conor, it's important that you listen to me. Are you listening?"
...
"You be as angry as you need to be," she said. "Don't let anyone tell you otherwise. Not your grandma, not your dad, no one. And if you need to break things, then by God, you break them good and hard."

Kembali mengenai Conor oh my sweet summer child, perkembangan cerita juga sedikit demi sedikit membuat Conor belajar tentang cara menangani situasinya, bagaimana lama-kelamaan sosok monster yang mendatangi Conor seakan mengajarkan Conor memahami situasinya lewat kisah-kisah yang diceritakannya. Nah nah nah, ini juga yang saya suka banget dari buku ini adalah bagaimana secara pintar juga Patrick Ness memanfaatkan fakta kalau menjelaskan sesuatu ke anak bisa lebih mudah dilakukan lewat media cerita - dan cerita dari si monster menjadi aspek fiksi yang keren banget saat berdampingan dengan reality matter dari cerita. Oke, meski di sini yang memberikan cerita adalah sosok monster, dan jelas bahwa Conor memang nggak sesugestif itu untuk menerima isi sebuah cerita, tapi terasa bahwa cerita yang diberikan si monster "masuk" ke pola pemikiran dia, dan dia juga pelan-pelan memahami bahwa manusia adalah makhluk yang rumit; antara lain dalam emosi yang dialami, rumit dalam membuat keputusan. Sebagai pembaca, saya juga jadi semacam mendapat penyadaran - diingatkan bahwa lagi-lagi dengan fakta kalau Conor IS JUST A BOY (okay I should stop exaggerating this), dia ternyata perlu belajar cara untuk bisa memahami emosi-emosi yang dialaminya dalam situasinya menghadapi ibunya yang sakit parah, hingga dari situlah kunci pemahaman terhadap mimpi buruk Conor yang sesungguhnya dapat ditemukan.

You were merely wishing for the end of pain, the monster said. Your own pain. An end to how it isolated you. It is the most human wish of all.

"But how do you fight it?" Conor asked, his voice rough. "How do you fight all the different stuff inside?"

By speaking the truth, the monster said.

You do not write your life with words, the monster said. You write it with actions. What do you think is not important. It is only important what you do.

It was not wrong, the monster said, It was only a thought, one of a million. It was not an action.

Pada akhirnya kurang lebih pelajaran penting yang akhirnya dipelajari Conor berkisar pada menghadapi rasa sakit yang sifatnya tidak secara fisik, mungkin suatu hal yang memang tidak mudah untuk dipahami oleh anak seusianya. Pengalaman Conor dengan situasi yang dialaminya, mau tak mau pun membuat Conor harus mempelajarinya, mungkin lebih cepat dari yang seharusnya. Entah untuk metafora apa sebenarnya sosok monster ini ada dalam cerita Conor...

All in all, this book was a very insightful reading, dan saya juga sangat excited bahwa buku ini juga difilmkan! Simak trailernya di bawah ini bagi yang belum, terus saya juga menyertakan original sound track film A Monster Calls karya Keane dengan judul Tear Up This Town yang buat saya mampu mengilustrasikan "gejolak" yang dialami Conor dan sukses bikin baper pas didengerin setelah selesai baca bukunya dan meresapi liriknya, hiks.





Banyak hal yang bisa kita petik dari buku ini (#tsah), dan review saya ini hanya usaha saya untuk merangkum sebagian besar kesan dan pengalaman pikiran (#...) saya setelah membacanya. Bagi Anda yang minat dengan bacaan fiksi yang memiliki muatan mengena, buku ini sangat disarankan. Meski buku ini dapat juga dibaca oleh anak-anak, saya rasa pendampingan dari orang yang lebih dewasa juga akan sangat membantu mengingat tema ceritanya yang cenderung kelam untuk cerita anak-anak.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Back to Top